Senin, 11 November 2013

Reklamasi Mendorong Alih Fungsi Sawah Di Bali

REKLAMASI MENDORONG ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH DI BALI
OLEH WAYAN WINDIA
sumber: BALI EXPRESS
Jumat, 4 Oktober 2013
Dalam sebuah seminar, saya terkejut ketika mendengar informasi bahwa kalangan DPRD Bali, pejabat Pemda Bali dan calon investor reklamasi Tanjung Benoa berbicara tentang alih fungsi lahan sawah. Mereka mengatakan reklamasi berfungsi untuk menghambat alih fungsi lahan sawah di Bali. Lho bagaimana bisa begitu? Saya maklum kalau hanya pihak investor mengatakan hal itu. Karena ia sangat berkepentingan untuk mengeruk dan kemudian merusak alam Bali. Sudah menjadi rahasia umum bahwa para investor yang kapitalis, cirinya adalah mereka selalu sangat eksploratif (menggali) dan eksploitatif (menghisap). Ampasnya dibuang menjadi kasus polutif. Kemudian setelah sumber dayanya habis, maka mereka akan segera lari. Kasus kapitalisme di Armenia adalah sebuah contoh klasik yang tercatat dalam sebuah sejarah pembangunan, seperti yang pernah dikatakan Ketua DPD-RI.
Sudah menjadi sejarah dalam proses pembangunan di Bali, bahwa laju pembangunan sarana kepariwisataan berbanding lurus dengan lajunya arus alih fungsi lahan sawah. Pada tahun 1980an, kasus yang sama pernah terjadi. Dalam era itu, pembangunan kepariwisataan sedang di-push. Tercatat laju alih fungsi lahan sawah pada saat itu seketika melompat menjadi lebih dari 1000 ha/tahun. Sementara itu, dengan metode analisis spasial, tim Litbang Kompas (2013) mencatat bahwa, di mana ada pembangunan kawasan wisata, maka di kawasan itulah berkembang kawasan kumuh. Jadi, ada hubungan yang kuat antara pembangunan pariwisata dengan kawasan kumuh di Bali. Analogi inilah yang terjadi antara pembangunan kawasan wisata (reklamasi) dengan alih fungsi lahan sawah.
Logika sederhananya adalah, bahwa setiap pembangunan kawasan wisata akan mendorong orang untuk bekerja di sana, termasuk masuknya kaum migran. Kondisi ini akan mendorong pembangunan fisik lainnya, seperti pembangunan warung, toko, restoran, perumahan, hotel kecil, dan berbagai sarana prasarana lainnya. Pembangunan fisik sebagai akibat dari multiplier-efect pembangunan (reklamasi) inilah yang mendorong alih fungsi lahan sawah.
Bahwa kehadiran migran di Bali sudah menjadi rahasia umum. Saat ini, pertumbuhan penduduk di Badung dan Denpasar naik sekitar 3-5 persen pertahun. Kenaikan itu, 50 persen disebabkan karena kedatangan migran. Kenapa migran datang ke Bali? Tentu saja karena di Bali ada pembangunan pariwisata. Kalau pembangunan pariwisata di Balitidak dihentikan (sementara), maka migran akan semakin datang. Migran yang beranak pinak akan memangsa lahan sawah di Bali. Itulah sebabnya, pembangunan pariwisata telah menjadi kanibal bagi sektor pertanian. Oleh karenanya, seperti tidak masuk akal kalau dikatakan bahwa pengunan reklamasi yang akan dimanfaatkan sebagai sarana kepariwisataan, akan dapat menghentikan/mengendalikan alih fungsi lahan sawah di Bali. Justru sebaliknya yang akan terjadi.
Sementara itu, pembangunan pariwisata juga mendorong alam pikir beberapa tokoh masyarakat mulai keblinger. Mereka kini justru menginginkan agar peraturan tentang ketinggian bangunan di Bali untuk segera direvisi. Alasan tujuannya juga sama, yakni untuk menghindari alih fungsi lahan. Mereka mungkin lupa bahwa, ijin pembangunan bangunan yang tinggi akan mendorong kapitalis, pembangunan fisik lainnya, migran, dll. Sekali lagi, komponen inilah yang akan menjadi kanibalis bagi lahan sawah di Bali.
Dalam suatu pertemuan di Jakarta membahas tentang Warisan Budaya Dunia (WBD) beberapa pakar di Kem-PU justru mengatakan bahwa Bali akan semakin hancur kalau terus dibangun berbagai infrastruktur. Dengan dibuatkan jalan tol, under-pass, dll, maka akan semakin menyuburkan kedatangan kaum kapitalis ke Bali. Dalam beberapa saat, jalan macet akan kembali muncul. Saat ini jalan macet hanya berpindah ke beberapa kawasan lain. Sementara itu, sawah-sawah di Bali akan semakin tertekan kalau di Bali masih terus mengandalkan wisatawan massal, maka pariwisata Bali akan semakin dikendalikan oleh orang asing. Hal inilah yang menyebabkan rakyat Bali akan makin menjadi penonton di rumahnya sendiri. Kalau hal itu terus terjadi, maka kehancuran Bali akan semakin nyata. Oleh karenanya diperlukan kebijakan pariwisata dengan landasan pemberdayaan masyarakat pedesaan harus dilindungi dan diperdayakan, agar lebih mampu berperan dalam memanfaatkan kedatangan wisatawan. Hanya dengan cara ini kepariwisataan di Bali akan semakin abadi.
Dengan konsep pemberdayaan masyarakat pedesaan (desa adat), pemberdayaan petani (subak), maka Bali akan memiliki dukungan kelembagaan yang semakin kuat dalam pembangunan ekonomi (pariwisata). Apalagi saat ini di Bali sudah ada subak sebagai WBD. Maka tidak ada alasan bagi Pemda di Bali untuk tidak memperhatikan dan memberdayakan subak. Kalau memang kita ingin ada Pulau Bali yang ajeg. Kalau tidak marilah kita terus membangun dengan sistem prokapitalis (seperti yang sekarang kita laksanakan). Selamat tinggal Bali.
sumber :


Penerapan CSR pada suatu perusahaan

Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai Bentuk Penerapan PrinsipGood Corporate Governance (GCG) dan Sustainable Development
Dewasa ini, tantangan yang dihadapi oleh perusahaan semakin berat. CSR merupakan fenomena strategi perusahaan yang mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan stakeholdernya. Penerapan CSR berkaitan dengan tatakelola perusahaan yang baik. Penerapan GCG akan memberikan dampak positif terhadap lingkungan bisnis dan meningkatkan kepercayaan para pemangku kepentingan terutama investor kepada perusahaan. CSR timbul sejak era di mana kesadaran akan sustainability perusahaan jangka panjang adalah lebih penting daripada sekedar profitability. Dalam Stakeholder view of the firm fokusnya yaitu tanggung jawab perusahaan terhadapstakeholders, dimana suatu perusahaan tidak hanya menghasilkan laba setinggi-tingginya (profit maximization untuk shareholders), tetapi juga bagaimana laba tersebut dapat memberikan manfaat kepada masyarakat serta stakeholders lainnya untuk meningkatkan kehidupan mereka menjadi lebih baik. Perusahaan memiliki tanggung jawab sosial untuk beroperasi dengan etis, bertanggung jawab terhadap sosial dan lingkungan. Pendekatan ini kemudian dikenal dengan corporate social responsibility (CSR) atau corporate citizenship.
Corporate Social Responsibility (CSR) adalah operasi bisnis yang berkomitmen tidak hanya untuk meningkatkan keuntungan perusahaan secara finansial, melainkan pula untuk membangun sosial-ekonomi kawasan secara holistik, melembaga dan berkelanjutan. Dari definisi tersebut, dapat kita lihat bahwa salah satu aspek dalam pelaksanaan CSR adalah komitmen berkelanjutan dalam mensejahterakan komunitas lokal masyarakat sekitar. Archie Carroll menyatakan empat bagian taksonomi dari CSR dimana perusahaan harus menjalankan bisnisnya melalui cara-cara yang memenuhi ekspetasi:
a) Level I: Ekonomi –perusahaan harus mewujudkan tanggung jawab sosial dengan memproduksi barang dan jasa yang dapat menghasilkan keuntungan.
b) Level II: Hukum –masyarakat berekspetasi bahwa perusahaan mengoperasikan bisnisnya sesuai dengan kerangka hukum yang berlaku.
c) Level III: Etika –tanggung jawab perusahaan melebihi dari sekedar mematuhi regulasi hukum, melainkan juga memenuhi norma-norma dan budaya/ adat istiadat yang berlaku.
d) Level IV: Filantropi –corporate giving merupakan hal yang bebas ditentukan oleh perusahaan, meskipun permintaan dari komunitas pemangku kepentingan akan hal ini meningkat.
Dalam menjalankan operasi bisnisnya, perusahaan harus memprioritaskan tanggung jawab ekonomi (level I) yakni perusahaan harus beroperasi secara efisien dan menjaga kelangsungannya dalam jangka panjang sehingga dapat bermanfaat bagi masyarakat. Perusahaan juga harus menjalankan aktivitas bisnisnya dalam kerangka hukum yang berlaku (level II) dan secara etis (level III). Kemudian, filantropi (level IV) menjadi prioritas terakhir bagi perusahaan. Ketika kegiatan CSR perusahaan meliputi kegiatan amal (charity) atau filantropi (level IV), konsep ini lebih berfokus pada menjalin hubungan dengan pemangku kepentingan untuk mencapai tujuan hukum (level II) dan etika (level III). Dengan pertanggung jawaban ini perusahaan bisa menghindari gugatan masyarakat, memperkuat reputasi dan meningkatkan kepercayaan stakeholder.
Dalam pertanggungjawaban perusahaan, beberapa hal yang mempengaruhinya meliputi globalisasi, kemampuan perusahaan global yang seharusnya melakukan aktivitas-aktivitas yang sebelumnya dilakukan oleh pemerintah setempat, tekanan dari aktivis-aktivis sosial, meningkatnya perubahan lingkungan yang semakin dinamis serta meningkatnya sanksi di pasar modal yang memberikan hukuman bagi perusahaan yang beroperasi tidak sesuai dengan standar etika. Peningkatan tersebut mendorong CSR menjadi hal penting dalam perusahaan saat ini.
GCG merupakan sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan guna menciptakan nilai tambah (value added) untuk semua stakeholder. Terdapat lima prinsip GCG yang dijadikan pedoman bagi para pelaku bisnis, yaitu Transparency, Accountability, Responsibility, Indepandency dan Fairness. CSR berkaitan erat dengan prinsip Responsibility. Perusahaan tersebut tidak hanya mementingkan kelangsungan perusahaan pada kepentingan pemegang saham (shareholders) tetapi dengan penerapan prinsip GCG yaitu responsibility, perusahaan juga harus memperhatikan kepentingan stakeholders. Kebijakan CSR memberikan manfaat kepada tidak hanya perusahaan, tetapi juga bagi masyarakat dan lingkungan. Corporate responsibilities ada dua. Pertama, yang sifatnya ke dalam atau internal. Kedua, yang sifatnya mengatur keluar atau eksternal. Kalau internal menyangkut transparansi, sehingga ada yang namanya Good Corporate Governance. Di kalangan perusahaan publik diukur dengan keterbukaan informasi (Untung,2008:9-10). Adapun corporate responsibility eksternal, menyangkut lingkungan tempat dimana perusahaan berada. Pengusaha harus memperhatikan polusi, limbah, maupun partisipasi lainnya. Stakeholder yang ada di luar dapat dikategorikan, ada masyarakat, pemasok, pelanggan, konsumen, maupun pemerintah. Apabila perusahaan ingin berbuat sesuatu untuk masyarakat, perusahaan harus tahu apa yang stakeholder butuhkan. Bukan yang ingin perusahaan buat. Oleh karena itu, harus terjadi komunikasi sebelum membuat program.
Penerapan CSR di perusahaan semakin penting dengan munculnya konsepsustainable development yang dirumuskan oleh World Commission on Environment and Development (WCED) , sebagai “development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs”. Pelaksanaan CSR sebenarnya bertujuan untuk memperkuat perusahaan dengan jalan membangun kerjasama antara stakeholders yang difasilitasi oleh perusahaan yang bersangkutan dengan jalan menyusun program-program pengembangan mayarakat sekitarnya, untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya, komunitas dan stakeholders terkait dengan perusahaan, baik lokal, nasional maupun global. Hal ini erat hubungannya dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable development), yang berprinsip “memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan” (Brutland Report dari PBB, 1987). Pembangunan berkelanjutan telah menjadi isu global yang harus dipahami dan diimplementasikan pada tingkat lokal. Pembangunan berkelanjutan tidak hanya terbatas pada isu lingkungan tetapi mencakup tiga hal kebijakan, yaitu pembangunan ekonomi, pembangunan social, dan perlindungan lingkungan seperti yang digambarkan John Elkington dalam triple bottom line (profit, people, planet). Dalam penerapan CSR ini, perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pasa single bottom line, yaitu nilai perusahaan (corporate value) yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya (financial), tetapi tanggung jawab perusahaan harus berpijak pada triple bottom line (profit, people, planet) yaitu yang meliputi aspek finansial, sosial, dan lingkungan.
Jadi, dalam hal mencapai tujuannya perusahan tidak hanya memaksimalkan keuntungan tetapi juga membangun sosial-ekonomi kawasan secara holistik, melembaga dan berkelanjutan demi kelangsungan di jangka panjang perusahaan. CSR merupakan wujud penerapan tata kelola perusahaan yang baik dan memenuhi kebutuhan perusahaan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan /sustainable development.
Daftar Pustaka
Kim, K.A., Nofsinger, J.R., & Mohr, D.J., 2009, Corporate Governance, 3rd Edition, Pearson (KNM)
Saviera, Lesly. 2012. Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai Penerapan Prinsip Good Corporate Governance (GCG) terkait dengan Sustainable Development. Tesis. Program Studi Magister Ilmu Hukum USU

Kesimpulan :
Menurut analisis saya, jadi CSR merupakan suatu cara untuk meningkatkan image perusahaan di mata dunia  dengan memberikan dampak positif terhadap masyarakat. Oleh karena itu CSR sangatlah penting untuk dilakukan oleh semua perusahaan untuk keberlanjutan hidup perusahaan itu sendiri.

Sumber :

Tentang CSR Perusahaan

APA ITU CSR? PENGERTIAN CSR Corporate Social Responsibilty

Definisi CSR (Corporate Social Responsibility) adalah suatu tindakan atau konsep yang dilakukan oleh perusahaan (sesuai kemampuan perusahaan tersebut) sebagai bentuk tanggungjawab mereka terhadap sosial/lingkungan sekitar dimana perusahaan itu berada. COntoh bentuk tanggungjawab itu bermacam-macam, mulai dari melakukan kegiatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan perbaikan lingkungan, pemberian beasiswa untuk anak tidak mampu, pemberian dana untuk pemeliharaan fasilitas umum, sumbangan untuk desa/fasilitas masyarakat yang bersifat sosial dan berguna untuk masyarakat banyak, khususnya masyarakat yang berada di sekitar perusahaan tersebut berada. Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan fenomena strategi perusahaan yang mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan stakeholder-nya. CSRtimbul sejak era dimana kesadaran akan sustainability perusahaan jangka panjang adalah lebih penting daripada sekedar profitability.

Seberapa jauhkah CSR berdampak positif bagi masyarakat ?

CSR akan lebih berdampak positif bagi masyarakat; ini akan sangat tergantung dari orientasi dan kapasitas lembaga dan organisasi lain, terutama pemerintah. Studi Bank Dunia (Howard Fox, 2002) menunjukkan, peran pemerintah yang terkait dengan CSRmeliputi pengembangan kebijakan yang menyehatkan pasar, keikutsertaan sumber daya, dukungan politik bagi pelaku CSR, menciptakan insentif dan peningkatan kemampuan organisasi. Untuk Indonesia, bisa dibayangkan, pelaksanaan CSR membutuhkan dukungan pemerintah daerah, kepastian hukum, dan jaminan ketertiban sosial. Pemerintah dapat mengambil peran penting tanpa harus melakukan regulasi di tengah situasi hukum dan politik saat ini. Di tengah persoalan kemiskinan dan keterbelakangan yang dialami Indonesia, pemerintah harus berperan sebagai koordinator penanganan krisis melalui CSR (Corporate Social Responsibilty). Pemerintah bisa menetapkan bidang-bidang penanganan yang menjadi fokus, dengan masukan pihak yang kompeten. Setelah itu, pemerintah memfasilitasi, mendukung, dan memberi penghargaan pada kalangan bisnis yang mau terlibat dalam upaya besar ini. Pemerintah juga dapat mengawasi proses interaksi antara pelaku bisnis dan kelompok-kelompok lain agar terjadi proses interaksi yang lebih adil dan menghindarkan proses manipulasi atau pengancaman satu pihak terhadap yang lain.

Program CSR sudah mulai bermunculan di Indonesia seiring telah disahkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007     tentang Perseroan Terbatas dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, adapun isi Undang-Undang tersebut  yang berkaitan dengan CSR, yaitu:
Pada pasal 74 di Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, berbunyi:
http://csrpdamkotabogor.wordpress.com/wp-includes/js/tinymce/plugins/wordpress/img/trans.gif?m=1207340914g
1)  Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
2)   Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
3)    Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4)   Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Sedangkan pada pasal 25 (b) Undang – Undang Penanaman Modal menyatakan kepada setiap penanam modal wajib melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.
Dari kedua pasal diatas dapat kita lihat bagaimana pemerintah Indonesia berusaha untuk mengatur kewajiban pelaksanaan CSR oleh perusahaan atau penanam modal
Definisi CSR menurut World Business Council on Sustainable Development adalah komitmen dari bisnis/perusahaan untuk berperilaku etis dan berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, seraya meningkatkan kualitas hidup karyawan dan keluarganya, komunitas lokal dan masyarakat luas. Wacana Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility) yang kini menjadi isu sentral yang semakin populer dan bahkan ditempatkan pada posisi yang penting, karena itu kian banyak pula kalangan dunia usaha dan pihak-pihak terkait mulai merespon wacana ini, tidak sekedar mengikuti tren tanpa memahami esensi dan manfaatnya.
Program CSR merupakan investasi bagi perusahaan demi pertumbuhan dan keberlanjutan (sustainability) perusahaan dan bukan lagi dilihat sebagai sarana biaya (cost centre) melainkan sebagai sarana meraih keuntungan (profit centre). Program CSR merupakan komitmen perusahaan untuk mendukung terciptanya pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Disisi lain masyarakat mempertanyakan apakah perusahaan yang berorientasi pada usaha memaksimalisasi keuntungan-keuntungan ekonomis memiliki komitmen moral untuk mendistribusi keuntungan-keuntungannya membangun masyarakat lokal, karena seiring waktu masyarakat tak sekedar menuntut perusahaan untuk menyediakan barang dan jasa yang diperlukan, melainkan juga menuntut untuk bertanggung jawab sosial.
Penerapan program CSR merupakan salah satu bentuk implementasi dari konsep tata kelola perusahaan yang baik (Good Coporate Governance). Diperlukan tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) agar perilaku pelaku bisnis mempunyai arahan yang bisa dirujuk dengan mengatur hubungan seluruh kepentingan pemangku kepentingan (stakeholders) yang dapat dipenuhi secara proporsional, mencegah kesalahan-kesalahan signifikan dalam strategi korporasi dan memastikan kesalahan-kesalahan yang terjadi dapat diperbaiki dengan segera.
Dengan pemahaman tersebut, maka pada dasarnya CSR memiliki fungsi atau peran strategis bagi perusahaan, yaitu sebagai bagian dari manajemen risiko khususnya dalam membentuk katup pengaman sosial (social security).   Selain itu melalui CSR  perusahaan juga dapat membangun reputasinya, seperti meningkatkan citra perusahaan maupun pemegang sahamnya, posisi merek perusahaan, maupun bidang usaha perusahaan.
Dalam hal ini perlu ditegaskan bahwa CSR berbeda dengan charity atau sumbangan sosial. CSR harus dijalankan di atas suatu program dengan memerhatikan kebutuhan dan keberlanjutan program dalam jangka panjang. Sementara sumbangan sosial lebih bersifat sesaat dan berdampak sementara. Semangat CSR diharapkan dapat mampu membantu menciptakan keseimbangan  antara perusahaan, masyarakat dan lingkungan. Pada dasarnya tanggung jawab sosial  perusahaan ini diharapkan dapat kembali menjadi budaya bagi bangsa Indonesia khususnya, dan masyarakat dunia dalam kebersamaan mengatasi masalah sosial dan lingkungan.
Keputusan manajemen perusahaan untuk melaksanakan program-program CSR secara berkelanjutan, pada dasarnya merupakan keputusan yang rasional. Sebab implementasi program-program CSR akan menimbulkan efek lingkaran emas yang akan dinikmati oleh perusahaan dan seluruh stakeholder-nya. Melalui CSR, kesejahteraan dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat lokal maupun masyarakat luas akan lebih terjamin. Kondisi ini pada gilirannya akan menjamin kelancaran seluruh proses atau aktivitas produksi perusahaan serta pemasaran hasil-hasil produksi perusahaan. Sedangkan terjaganya kelestarian lingkungan dan alam selain menjamin kelancaran proses produksi juga menjamin ketersediaan pasokan bahan baku produksi yang diambil dari alam.
Bila CSR benar-benar dijalankan secara efektif maka dapat memperkuat atau meningkatkan akumulasi modal sosial dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Modal sosial, termasuk elemen-elemennya seperti kepercayaan, kohesifitas, altruisme, gotong royong, jaringan dan kolaborasi sosial memiliki pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi. Melalui beragam mekanismenya, modal sosial dapat meningkatkan rasa tanggung jawab terhadap kepentingan publik, meluasnya partisipasi dalam proses demokrasi, menguatnya keserasian masyarakat dan menurunnya tingkat kekerasan dan kejahatan.
Tanggung jawab perusahaan terhadap kepentingan publik dapat diwujudkan melalui pelaksanaan program-program CSR yang berkelanjutan dan menyentuh langsung aspek-aspek kehidupan masyarakat. Dengan demikian realisasi program-program CSR merupakan sumbangan perusahaan secara tidak langsung terhadap penguatan modal sosial secara keseluruhan. Berbeda halnya dengan modal finansial yang dapat dihitung nilainya kuantitatif, maka  modal sosial tidak dapat dihitung nilainya secara pasti. Namun demikian, dapat ditegaskan bahwa pengeluaran biaya untuk program-program CSR merupakan investasi perusahaan untuk memupuk modal sosial.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku – buku :
Dirjosisworo Soejono, Hukum Perusahaan Mengenai Penanaman Modal, di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1999.
John Elkington, Cannibals with Forks,The Triple Bottom Line of Twentieth Century Business, dikutip dari Teguh Sri Pembudi, CSR, Sebuah Keharusan dalam Investasi Sosial, Pusat Penyuluhan Sosial (PUSENSOS) Departemen Sosial RI, Jakarta, La Tofi Enterprise, 2005.

B. Jurnal, Tulisan Ilmiah dan Makalah
Gurvy Kavei dalam Teguh , Tanggung Jawab Sosial Harus Dilakukan, Makalah pada seminar “Corporate Social Responsibility”: Integrating Social Acpect into The Business, Yogyajarta, 2006.
Suprapto, Siti Adipringadi Adiwoso, 2006, Pola Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Lokal di Jakarta, Galang vol. 1 No. 2, Januari 2006.

C. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal