REKLAMASI
MENDORONG ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH DI BALI
OLEH WAYAN WINDIA
sumber: BALI EXPRESS
Jumat, 4 Oktober 2013
sumber: BALI EXPRESS
Jumat, 4 Oktober 2013
Dalam sebuah seminar, saya terkejut ketika
mendengar informasi bahwa kalangan DPRD Bali, pejabat Pemda Bali dan calon
investor reklamasi Tanjung Benoa berbicara tentang alih fungsi lahan sawah.
Mereka mengatakan reklamasi berfungsi untuk menghambat alih fungsi lahan sawah
di Bali. Lho bagaimana bisa begitu? Saya maklum kalau hanya pihak investor
mengatakan hal itu. Karena ia sangat berkepentingan untuk mengeruk dan kemudian
merusak alam Bali. Sudah menjadi rahasia umum bahwa para investor yang
kapitalis, cirinya adalah mereka selalu sangat eksploratif (menggali) dan
eksploitatif (menghisap). Ampasnya dibuang menjadi kasus polutif. Kemudian
setelah sumber dayanya habis, maka mereka akan segera lari. Kasus kapitalisme
di Armenia adalah sebuah contoh klasik yang tercatat dalam sebuah sejarah
pembangunan, seperti yang pernah dikatakan Ketua DPD-RI.
Sudah menjadi sejarah dalam proses pembangunan di
Bali, bahwa laju pembangunan sarana kepariwisataan berbanding lurus dengan
lajunya arus alih fungsi lahan sawah. Pada tahun 1980an, kasus yang sama pernah
terjadi. Dalam era itu, pembangunan kepariwisataan sedang di-push.
Tercatat laju alih fungsi lahan sawah pada saat itu seketika melompat menjadi
lebih dari 1000 ha/tahun. Sementara itu, dengan metode analisis spasial, tim
Litbang Kompas (2013) mencatat bahwa, di mana ada pembangunan kawasan wisata,
maka di kawasan itulah berkembang kawasan kumuh. Jadi, ada hubungan yang kuat
antara pembangunan pariwisata dengan kawasan kumuh di Bali. Analogi inilah yang
terjadi antara pembangunan kawasan wisata (reklamasi) dengan alih fungsi lahan
sawah.
Logika sederhananya adalah, bahwa setiap
pembangunan kawasan wisata akan mendorong orang untuk bekerja di sana, termasuk
masuknya kaum migran. Kondisi ini akan mendorong pembangunan fisik lainnya,
seperti pembangunan warung, toko, restoran, perumahan, hotel kecil, dan
berbagai sarana prasarana lainnya. Pembangunan fisik sebagai akibat dari multiplier-efect pembangunan
(reklamasi) inilah yang mendorong alih fungsi lahan sawah.
Bahwa kehadiran migran di Bali sudah menjadi
rahasia umum. Saat ini, pertumbuhan penduduk di Badung dan Denpasar naik
sekitar 3-5 persen pertahun. Kenaikan itu, 50 persen disebabkan karena
kedatangan migran. Kenapa migran datang ke Bali? Tentu saja karena di Bali ada
pembangunan pariwisata. Kalau pembangunan pariwisata di Balitidak dihentikan
(sementara), maka migran akan semakin datang. Migran yang beranak pinak akan
memangsa lahan sawah di Bali. Itulah sebabnya, pembangunan pariwisata telah
menjadi kanibal bagi sektor pertanian. Oleh karenanya, seperti tidak masuk akal
kalau dikatakan bahwa pengunan reklamasi yang akan dimanfaatkan sebagai sarana
kepariwisataan, akan dapat menghentikan/mengendalikan alih fungsi lahan sawah
di Bali. Justru sebaliknya yang akan terjadi.
Sementara itu, pembangunan pariwisata juga
mendorong alam pikir beberapa tokoh masyarakat mulai keblinger. Mereka kini
justru menginginkan agar peraturan tentang ketinggian bangunan di Bali untuk
segera direvisi. Alasan tujuannya juga sama, yakni untuk menghindari alih
fungsi lahan. Mereka mungkin lupa bahwa, ijin pembangunan bangunan yang tinggi
akan mendorong kapitalis, pembangunan fisik lainnya, migran, dll. Sekali lagi,
komponen inilah yang akan menjadi kanibalis bagi lahan sawah di Bali.
Dalam suatu pertemuan di Jakarta membahas tentang
Warisan Budaya Dunia (WBD) beberapa pakar di Kem-PU justru mengatakan bahwa
Bali akan semakin hancur kalau terus dibangun berbagai infrastruktur. Dengan
dibuatkan jalan tol, under-pass, dll, maka akan semakin menyuburkan
kedatangan kaum kapitalis ke Bali. Dalam beberapa saat, jalan macet akan
kembali muncul. Saat ini jalan macet hanya berpindah ke beberapa kawasan lain.
Sementara itu, sawah-sawah di Bali akan semakin tertekan kalau di Bali masih
terus mengandalkan wisatawan massal, maka pariwisata Bali akan semakin
dikendalikan oleh orang asing. Hal inilah yang menyebabkan rakyat Bali akan
makin menjadi penonton di rumahnya sendiri. Kalau hal itu terus terjadi, maka
kehancuran Bali akan semakin nyata. Oleh karenanya diperlukan kebijakan
pariwisata dengan landasan pemberdayaan masyarakat pedesaan harus dilindungi
dan diperdayakan, agar lebih mampu berperan dalam memanfaatkan kedatangan
wisatawan. Hanya dengan cara ini kepariwisataan di Bali akan semakin abadi.
Dengan konsep pemberdayaan masyarakat pedesaan
(desa adat), pemberdayaan petani (subak), maka Bali akan memiliki dukungan
kelembagaan yang semakin kuat dalam pembangunan ekonomi (pariwisata). Apalagi
saat ini di Bali sudah ada subak sebagai WBD. Maka tidak ada alasan bagi Pemda
di Bali untuk tidak memperhatikan dan memberdayakan subak. Kalau memang kita
ingin ada Pulau Bali yang ajeg. Kalau tidak marilah kita terus membangun dengan
sistem prokapitalis (seperti yang sekarang kita laksanakan). Selamat tinggal
Bali.
sumber :